Jumat, 19 November 2010

ANGGARAN SEBAGAI ALAT KEBIJAKAN FISKAL




PENDAHULUAN
Berbagai kajian dan studi empiris yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga termasuk dari lembaga-lembaga seperti IMF, Bank Dunia dan ADB, tidak satupun yang menyimpulkan bahwa krisis yang dialami oleh negara-negara di Asia Tenggara yang dimulai pertengahan 1997 di Thailand kemudian merebak ke negara-negara lain, termasuk Indonesia bersumber dari kebijakan fiskal yang salah.
Kebijakan Fiskal pada dasarnya merupakan kebijakan yang mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran negara. Penerimaan negara bersumber dari pajak, penerimaan bukan pajak dan bahkan penerimaan yang berasal dari pinjaman/bantuan dari luar negeri sebelum masa reformasi dikategorikan sebagai penerimaan negara. Pinjaman luar negeri dimasukkan dalam APBN sifatnya hanya in and out, artinya penerimaan dari sumber ini akan tercantum sebagai penerimaan negara dalam tahun anggaran yang sama, merupakan sumber pengeluaran pembangunan untuk membiayai berbagai proyek pembangunan dalam jumlah yang sama. Dengan demikian, kebijakan fiskal sebenarnya merupakan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan terbatas pada sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran negara yang tercantum dalam APBN. Kebijakan ini mencakup besarnya target penerimaan pajak langsung dan tidak langsung, target penerimaan bukan pajak termasuk dividen yang berasal dari BUMN serta besarnya rencana penerimaan dari luar negeri, baik dari pinjaman maupun dari hibah. Pada sisi pengeluaran pada dasarnya dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu untuk pengeluaran yang bersifat rutin, misalnya untuk pembayaran gaji dan belanja barang, serta pengeluaran yang bersifat pembangunan yang bersumber dari pinjaman dan hibah luar negeri serta tabungan pemerintah (public saving). Tabungan pemerintah berasal dari penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin sebagaimana tercantum dalam APBN setiap tahun yang menggunakan prinsip anggaran berimbang atau balanced budget yang diterapkan sebelum masa reformasi. Pada dasarnya kebijakan fiskal yang diterapkan selama tahun fiskal 1993-1998 tetap melanjutkan kebijakan fiskal yang ijalankan sebelumnya, yaitu suatu kebijakan fiskal yang hati-hati (prudent). Implikasinya adalah pada setiap tahun anggaran harus diupayakan adanya surplus anggaran. Selain itu, kebijakan fiskal tidak boleh menjadi alat pemicu terjadinya inflasi yang tidak terkendali. Demikian pula, kebijakan fiskal yang diterapkan harus dapat berfungsi sebagai instrumen untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang berkesinambungan (sustainable). Jadi sampai batas-batas tertentu kebijakan fiskal juga berfungsi sebagai alat stimulus ekonomi, meskipun perkembangan sektor riil dan pertumbuhan PDB yang rata-rata mencapai 7% setiap tahun, terutama diandalkan dari pertumbuhan investasi baik domestik maupun dari luar negeri.
PEMBAHASAN
Pengertian Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal (fiscal policy) adalah kebijakan yang dilakukan pemerintah melalui manipulasi instrument fiskal seperti pengeluran pemerintah dan atau pajak yang dutunjukkan untuk mempengaruhi tingkat permintaan agregat didalam perekonomian (Nanga; 2005)
Kebijakan fiskal adalah penyesuaian dalam pendaptan dan pengeluaran-pengeluaran Pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara yang disingkat APBN untuk mencapai kestabilan ekonomi yang lebih baik dan laju pembangunan ekonomi yang dikehendaki yang umumnya ditetapkan dalam rencana pembangunan (Sudirman; 2010)
Kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengendalikan penerimaan dan pengeluaran pemerintah.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
Kebijakan yang mengubah penetapan pajak adalah karena ada keinginan Pemerintah yang besumber dari wajib pajak yang nantinya digunakan untuk mengubah kemampuan Pemeritah dalam mendanai programnya dalam meningkatkan petumbuhan ekonomi atau kesejahteraan masyarakat.
Kebijkan Anggaran/Politik Anggaran:
1. Anggaran defisit (defisit budget) / kebijakan fiskal ekspansif adalah suatu kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Pada umumnya sangat baik digunakan jika keadaan ekonomi sedang resesif.
2. Anggaran surplus (surplus budget) / kebijakan fiskal kontraktif adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Sebaiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.
3. Anggaran berimbang (balanced budget) anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan dari politik anggaran berimbang yaitu terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.
Anggaran belanja negara terdiri dari:
a. Penerimaan atas pajak
b. Pengeluaran pemerintah (government expenditure)
c. Transfer pemerintah (government transfer), merupakan pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang tidak menghasilkan balas jasa secara langsung. Contoh: pemberian beasiswa kepada mahasiswa, bantuan bencana alam dan lain sebagainya.
Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal memberikan implikasi penting terhadap kinerja perekonomian daerah. Kinerja perekonomian daerah dipengaruhi oleh arah dan kebijakan fiskal dan moneter. Oleh karena itu, perlu dilakukan harmonisasi kebijkan fiskal dan moneter antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Kebijakan fiskal dapat dilakukan pemerintah melalui penetapan kebijakan perpajakan, kebijakan pinjaman luar negeri, dan pengaturan surplus dan defisit anggaran dengan memperhatikan kondisi perekonomian daerah. Kinerja perekonomian daerah merupakan salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan arah kebijakan moneter. Sektor perbankan sebagai otoritas moneter, dalam hal ini adalah Bank Indonesia memegang kendali atas arah kebijakan moneter. Salah satu peran perbankan daerah adalah untuk mendorong ekonomi daerah (kebijakan fiskal) dengan perbankan daerah (kebijakan moneter) dalam memajukan perekonomian daerah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai alat kebijakan fiskal pemerintah digunakan untuk menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. APBD merupakan rencana kerja pemerintah daerah dinyatakan dalam satuan moneter (rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun). Melalui APBD dapat diketahui arah kebijakan fiskal pemerintah, sehingga dapat dilakukan prediksi-prediksi dan estimasi ekonomi. Selain itu, APBD digunakan sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan (Mardiasmo, 2002: 9).
Manajemen keuangan daerah, khususnya manjemen anggaran daerah (APBD) dalam konteks otonomi dan desentralisasi menduduki posisi yang sangat penting. Karena adanya tuntutan pertanggungjawaban kepada publik, pemerntah daerah harus melakukan optimalisasi anggaran secara secara efisien dan efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meningkatnya transaksi keuangan daerah merupakan indikasi adanya arus kas masuk (pendapatan/penerimaan) dan arus kas keluar (pengeluaran/belanja). Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah (APBD) pemerintah daerah memerlukan dukungan manajeme kas yang tepat, meliputi pengelolaan semua pendapatan/penerimaan dan pengeluaran kas daerah sehingga dapat meminimalkan jumlah kas yang menganggur (idle cashs) serta dapat mencegah terjadinya kekurangan kas (illikuid).
Dengan dilaksanakannya otonomi daerah, maka transaksi keuangan di daerah akan meningkat. Dan keadaan tersebut harus didukung oleh institusi keuangan di daerah yang semakin baik. Keberhasilan perekonomian daerah akan tercapai apabila terdapat harmonisasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal daerah harus didukung oleh kebijakan moneter yang termanifestasikan melalui neraca pembayaran daerah dan perbankan daerah yang sehat. Efektivitas kebijakan moneter berupa pengendalian jumlah uang beredar berkaitan erat dengan manajemen kas Bank Indonesia, yaitu pengelolaan jumlah aliran uang masuk (Cash inflow) dan aliran kas keluar (cash outflow) sebagai instrumen dalam sistem moneter untuk menentukan jumlah uang beredar dalam jangka waktu tertentu.
Kebijakan Fiskal Tahun 1997
Pengaruh Globalisasi Terhadap Perekonomian Indonesia Sistem perekonomian terbuka yang dianut oleh Indonesia, menyebabkan prekonomian Indonesia tidak dapat menghindar dari setiap perkembangan perekonomian dunia, dan membawa konsekuensi adanya keterkaitan yang erat, baik melalui arus barang, jasa maupun arus modal. Krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia, juga sangat berpengaruh pada kondisi perekonomian Indonesia. Berbagai kajian dan studi empiris yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga termasuk dari lembaga-lembaga seperti IMF, Bank Dunia dan ADB, tidak satupun yang menyimpulkan bahwa krisis yang dialami oleh negara-negara di Asia Tenggara yang dimulai pertengahan 1997 di Thailand kemudian merebak ke negara-negara lain, termasuk Indonesia bersumber dari kebijakan fiskal yang salah. Berbagai indikator fundamental ekonomi pada masa itu, yang merata di negara-negara Asia Tenggara menunjukkan bahwa keadaan fundamental ekonomi, pada dasarnya masih dapat dikategorikan dalam keadaan sehat atau terkendali (manageable), meskipun terdapat indikator yang agak merisaukan yaitu membesarnya defisit transaksi berjalan pada neraca pembayaran. Gejala meningkatnya defisit transaksi berjalan secara nyata dan relatif tingginya inflasi yang dialami perekonomian Indonesia menunjukan perekonomian Indonesia masih mengalami pemanasan atau overheating. Pemanasan ekonomi bersumber dari naiknya permintaan agregat secara kurang proposional dengan penawaran agregat, oleh karena itu pengendalian pemanasan ekonomi dilakukan dengan pengendalian permintaan agregat. Dalam jangka pendek permintaan agregat dapat naik dengan cepat sedangkan penawaran agregat relatif tetap karena menyangkut kapasitas produksi. Permintaan agregat yang naik sebagian dipenuhi dengan barang domestik dan sebagian lagi dengan barang impor, yang dapat memperburuk defisit transaksi berjalan. Unsur permintaan agregat bersumber dari permintaan masyarakat dan pemerintah. Secara garis besar konsumsi masyarakat dapat dikendalikan dengan kebijakan moneter sedangkan belanja pemerintah dapat dikendalikan dengan kebijakan fiskal terutama yang menyangkut pengeluaran negara.
Kebijakan belanja rutin didasarkan atas prinsip efesiensi tanpa mengurangi kualitas pelayanan kepada masyarakat, sedangkan kebijakan belanja pembangunan didasarkan atas prinsip lebih mengutamakan belanja pembangunan didasarkan atas prinsip lebih mengutamakan belanja pembangunan untuk sektor-setor strategis dan mempunyai dampak pengganda yang besar bagi perekonomian nasional. Dalam kaitan ini dalam tahun anggaran 1996/1997, pertumbuhan belanja rutin telah diupayakan menurun dari 19,2 persen dalam tahun anggaran sebelumnya menjadi 17,2 persen atau dari Rp16.568,00 miliar, sedangkan pertumbuhan belanja pembangunan naik dari 6,2 persen dalam tahun anggaran sebelumnya menjadi 16,2 persen atau menjadi Rp 33.454,35 miliar.
Kombinasi kebijakan moneter dan fiskal, serta kebijakan di sektor riil yang dilaksanakan telah berhasil mengendalikan inflasi dan defisit transaksi berjalan secara berarti. Pada tahun anggaran 1996/1997 menjadi 5,17 persen. Demikian juga, defisit transaksi berjalan dapat dikendalikan sehinga menjadi US$ 8.069,00 juta dalam tahun anggaran 1996/1997 atau 3,5% dari PDB.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Sudirman, 2010, Kebijakan Fiskal dan Moneter, Diktat
Muana Nanga, 2005, Makro Ekonomi: Teori, Masalah dan Kebijakan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Internet

Selasa, 28 September 2010

KESEIMBANGAN PASAR BARANG DAN PASAR UANG


Oleh
AMRILLAH 


Apabila diketahui:
  1. Konsumsi rumah tangga : C=0,6Y+40
  2. Fusngis tabungan: S=0,4Y-40
  3. Fungsi investasi perusahaan: I= -400r+80
  4. Jumlah beredar M=200M
  5. Permintaan uang untuk transaksi: Lt= 0,25Y
  6. Permintaan uang untuk jaga-jaga: Lj=0,15Y
  7. Permitaan uang untuk transakasi dan jaga-jaga : L1=0,4Y
  8. Permintaan uang untuk spekulasi:L2=160-400r

Maka:
L = L1+L2
L= 0,4Y +160 -400r
Pertanyaanya:
  1. Bagaimanakah fungsi keseimbangan pasar barang (IS)?
  2. Bagaimanakah fungsi keseimbangan pasar uang (LM)?
  3. Berapakah bunga dan pendapatan keseimbangan?
  4. Bagaimanakah bentuk grafik keseimbangan pasar barang dan pasar uang?

Jawaban 1:
Y = C + I
Y = 0,6Y + 40 + (-400r +80)
Y = 0,6Y -400r + 120
(1-0,6)Y = -400r + 120
0,4Y = -400r + 120
Y = -1000r + 300 ……………………fungsi IS
Jawaban 2:
  • L = M
  • 0,4Y + 160 - 400r = 200
  • 0,4Y = 400r + 40
  • Y=1000r + 100………………………..fungsi LM

Jawaban 3:
  • IS=LM
  • -1000r + 300 = 1000r+100
  • -2000r =-200
  • r = 0,1………………….bunga keseimbangan
  • r = 0,1; Y=1000r + 100
  • Y= 1000 (0,1) + 100
  • Y = 100 + 100
  • Y= 200………………..Pendapatan keseimbangan

Jawaban 4:
Wassalam semoga bermanfaat......

Rabu, 24 Maret 2010

PENGARUH ACFTA TERHADAP UMKM




Oleh
Amrillah


 I. PENDAHULUAN

Latar Belakang
Fakta membuktikan bahwa pertumbuhan usaha besar yang pesat dan fantastis sejak dasawarsa 1970-an terbukti telah menutupi pertumbuhan UKM yang relatif tersendat-sendat. Kendati demikian, UKM ternyata telah memainkan peran yang patut diperhitungkan dalam menyerap tenaga kerja, ekspor, dan menopang penghasilan keluarga rumah tangga baik di perkotaan maupun di perdesaan.
Berbagai kebijakan dalam bidang perdagangan ternyata sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan UKM di Indonesia. Padahal kalau kita perhatikan sumbangan UKM terhadap PDB tidak bisa dianggap remeh. Belum lagi kalau kita melihat kontribusi UKM dalam penyerapan tenaga kerja yang tidak kecil yaitu mencapai lebih dari 96 % pada tahun 2000 dan 96,18 % pada tahun 2006. Kalau kita lihat peran UKM terhadap ekspor nonmigas yang pada tahun 1990 mencapai US$ 1.031 juta atau menempati rangking kedua setelah ekspor dari kelompok aneka industri.
Tulisan ini akan menguraikan beberapa tantangan yang dihadapi oleh Usaha Kecil dan mengengah (UKM). Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana pengaruh kebijakan perdangan luar neri dalam hal ini adalah pengaruh ACFTA terhadap masa depan UKM di Indonesia secara umum dan Denpasar pada Khususnya? bagaimana cara mengurangi dampak negatif dari perjanjian ACFTA terhadap UMKM serta apasaja peran yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi epek negatif yang ditimbulkan yang mungkin bisa mengancam perekonomian Indonesia?

 II. PEMBAHASAN
Pengertian UKM
Definisi usaha kecil menurut Undang-Undang No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang no 20 Tahun 2008. Kriteria tersebut antara lain memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
Menurut kategori Badan Pusat Statistik (BPS), usaha kecil identik dengan industri kecil dan industri rumah tangga. BPS mengklasifikasikan industri berdasrakan jumlah pekerjanya, yaitu: (1) industri rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang; (2) industri kecil dengan pekerja 5-19 orang; (3) industri menengah dengan pekerja 20-99 orang; (4) industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih (BPS, 1999:250).
Kendati beberapa definisi mengenai usaha kecil namun agaknya usaha kecil mempunyai karakteristik yang hampir seragam. Pertama, tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan industri kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya. Data BPS (1994) menunjukkan hingga saat ini jumlah pengusaha kecil telah mencapai 34,316 juta orang yang meliputi 15, 635 juta pengusaha kecil mandiri (tanpa menggunakan tenaga kerja lain), 18,227 juta orang pengusaha kecil yang menggunakan tenaga kerja anggota keluarga sendiri serta 54 ribu orang pengusaha kecil yang memiliki tenaga kerja tetap.

Tantangan dan Masalah
Memang cukup berat tantangan yang dihadapi untuk memperkuat struktur perekonomian nasional. Pembinaan pengusaha kecil harus lebih diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pengusaha kecil menjadi pengusaha menengah. Namun disadari pula bahwa pengembangan usaha kecil menghadapi beberapa kendala seperti tingkat kemampuan, ketrampilan, keahlian, manajemen sumber daya manusia, kewirausahaan, pemasaran dankeuangan. Lemahnya kemampuan manajerial dansumberdaya manusia ini mengakibatkan pengusaha kecil tidak mampu menjalankan usahanya dengan baik. Secara lebih spesifik, masalah dasar yang dihadapi pengusaha kecil adalah:
  1. Kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan memperbesar pangsa pasar.
  2. Kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasanuntuk memperoleh jalur terhadap sumber-sumber permodalan.
  3. Kelemahan di bidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia.
  4. Keterbatasan jaringan usaha kerjasama antar pengusaha kecil (sistem informasi pemasaran).
  5. Iklim usaha yang kurang kondusif, karena persaingan yang saling mematikan. 
  6. Pembinaan yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil.
Secara garis besar, tantangan yang dihadapi pengusaha kecil dapat dibagi dalam dua kategori: Pertama, bagi pengusaha kecil dengan omset kurang dari Rp 50 juta umumnya tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menjaga kelangsungan hidup usahanya. Bagi mereka, umumnya asal dapat berjualan dengan “aman” sudah cukup. Mereka umumnya tidak membutuhkan modal yang besar untuk ekspansi produksi; biasanya modal yang diperlukan sekedar membantu kelancaran cashflow saja. Bisa dipahami bila kredit dari BPR-BPR, BKK, TPSP (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam-KUD) amat membantu modal kerja mereka.
Kedua, bagi pengusaha kecil dengan omset antara Rp 50 juta hingga Rp 1 milyar, tantangan yang dihadapi jauh lebih kompleks. Umumnya mereka mulai memikirkan untuk melakukan ekspansi usaha lebih lanjut. Berdasarkan pengamatan Pusat Konsultasi Pengusaha Kecil UGM, urutan prioritas permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha kecil jenis ini adalah (Kuncoro, 1997): (1) Masalah belum dipunyainya sistem administrasi keuangan dan manajemen yang baik karena belum dipisahkannya kepemilikan dan pengelolaan perusahaan; (2) Masalah bagaimana menyusun proposal dan membuat studi kelayakan untuk memperoleh pinjaman baik dari bank maupun modal ventura karena kebanyakan pengusaha kecil mengeluh berbelitnya prosedur mendapatkan kredit, agunan tidak memenuhi syarat, dan tingkat bunga dinilai terlalu tinggi; (3) Masalah menyusun perencanaan bisnis karena persaingan dalam merebut pasar semakin ketat; (4) Masalah akses terhadap teknologi terutama bila pasar dikuasai oleh perusahaan/grup bisnis tertentu dan selera konsumen cepat berubah; (5) Masalah memperoleh bahan baku terutama karena adanya persaingan yang ketat dalam mendapatkan bahan baku, bahan baku berkulaitas rendah, dan tingginya harga bahan baku; (6) Masalah perbaikan kualitas barang dan efisiensi terutama bagi yang sudah menggarap pasar ekspor karena selera konsumen berubah cepat, pasar dikuasai perusahaan tertentu, dan banyak barang pengganti; (7) Masalah tenaga kerja karena sulit mendapatkan tenaga kerja yang terampil.

ACFTA
ACFTA merupaka singkatan dari Asean-China Free Trade Area yang merupakan suatu perjanjian liberalisasi perdagangan antara negara-negara Asean dan China yang mulai berlaku 01 Januari 2010. Dalam teori perdagangan internasional Liberalisasi merupakan suatu bentuk pengurangan peran peran pemerintah dalam perdagangan yang melibatkan dua negara atau lebih. Pengurangan peran pemerintah tersebut dalam hal peniadaan kebijakan tarif dan ataupun kuota maupu kebijakan-kebijakan yang lain seperti kebijakan dalam negeri pemerintah baik fiscal maupun moneter. Dalam tulisan ini akan dibahas hanya kebijakan tarif yang dikenakan kepada barang impor.

Tarif
Tarif adalah pembebanan pajak atau custom duties terhadap barang-barang yang melewati batas suatu negara. Bea impor merupakan salah satu bentuk kebijakan tarif selain kebijakan yang lain seperti bea transito, dan bea ekspor. Bea impor adalah pajak atau bea yang dikenakan terhadap barang-barang yang masuk dalam custom area suatu negara dengan ketentuan bahwa negara tersebut sebagai tujuan akhir.

Efek tarif
Pembebanan tariff terhadap suatu barang dapat mempunyai efek terhadap perekonomian suatu negara, khususnya terhadap pasar barang tersebut. Beberapa macam efek tarif tersebut adalah:
  1. Efek terhadap harga (price effect)
  2. Efek terhadap konsumsi (consumtion effect)
  3. Efek terhadap produk (protective/import substitution effect),
  4. Efek terhadap redistribusi pendapatan (redistribution effect).

Efek tersebut secara grafik dapat dijelaskan sebagai berikut:





Asumsi analisis ini adalah:
  1. Constan opportunity cost produksi, berarti produsen luar negeri mau menerima harga yang tetap berapapun jumlah yang diminta oleh konsumen di dalam negeri.
  2. Tidak ada tariff terhadap bahan mentah.

Ssebelum pembebanan tarif, OP merupakan harga konstan yang ditetapkan oleh produsen di luar negeri, sehingga produsen di dalam negeri pun harus menjual pada harga yang sama sebagai akibat persaingan dengan produsen luar negeri. Produksi di dalam negeri adalah OQ1 dan konsumesinya adalah OQ0 sehingga yang diimpor adalah Q1Q0. Terhadap impor ini kemudian negara A membebankan tariff sebesar PPT, maka effeknya adalah:
  1. Hara barang tersebut di dalam negeri naik dari OP menadi OPT (price effect)
  2. Jumlah barang yang diminta berkurang dari OQ0 menjadi OQ2 (consumption effect)
  3. Produksi di dalam negeri naik dari OQ1 menjadi OQ3 (protective/import substitution effects)
  4. Adanya pendapatan yang diterima oleh pemerintah dari tarif tersebut sebesar bcde (revenue effect)
  5. Adanya ekstra pendapatan yang dibayarkan oleh konsumen di dalam negeri kepada produsen di dalam negeri sebesar PPTab (redistribution effect).
Adanya tariff menyebabkan impor berkurang dari Q1Q0 menjadi Q3Q2. Pembebanan tariff ini tidak dapat menaikkan harga lebih tinggi dari OPT’ yaitu harga keseimbangan tanpa adanya tariff perdagangan internasional.
Selain kebijakan tariff di atas kebijakan lain yang dapat diambil pemerintah untuk menjaga atau memproteksi produksi dalam negeri dengan dampak yang hampir sama dengan kebijakan tariff yaitu kebijakan pemberian subsidi untuk produksi barang dalam negeri. Subsidi yang diberikan kepada produsen akan mempunyai efek menggeser kurva penawaran ke kanan bawah S’ besarnya subsidi tergantung target yang diinginkan.

Alasan Pembebanan Tarif:
  1. Memperbaiki dasar tukar (terms of trade)
  2. Infant-industry
  3. Dibersivikasi.
  4. Employment
  5. Anti dumping

Efek Penurunan Tarif Secara Sepihak
Untuk menjelaskan efek dari pengenaan tariff dan pengurangan tariff akan dijelaskan dengan bantuan kurva sebagai berikut: 
(akan dientry kemudian)

Kurva kesediaan menukar (offer curve) OH dan OF masing-masing untuk negara H (Home) dan F (Foreign) dengan titik kesimbangan R pada perdagangan bebas. Dalam keadaan perdangan bebas negara H akan mencapai tingkat kesejahteraan yang ditunjukkan dengan kurva indifferen (perdagangan) h1 yang memotong offer curve negara F pada titik S. Jika negara H mengenakan tariff optimum atau lebih rendah dari oftimum sehingga offer curve OH’ memotong offer curve OF pada titik T atau di sebelah kanan titik T dengan kurva inddiferen h3. Pengurangan tariff oftimum atau bahkan pembebasan tariff akan mengakibatkan volume perdagangan naik tetapi dasar tukar (terms of trade) turun dengan tingkat yang lebih besar sehingga kesejahteraan negara H turun (ditunjukkan dengan offer curve h1).

Pengaruh ACFTA terhadap Masa Depan UKM
Dari uraian tersebut diatas Nampak sekali ada beberapa pengaruh negative yang akan ditimbulkan oleh perjanjian ACFTA terhadap masa depat UMKM di Indonesia dan Bali khususnya. Pengaruh – pengaruh negative yang mungkin timbul tersebut antara lain disebabkan oleh gemburan masuknya produk luar negeri yang bebas bea masuk serta ketidak siapan produk local untuk bersaing.
Ketidak siapan produk local untuk bersaing disebabkan beberapa masalah seperti telah disebutkan diatas. Tentunya karena ketidak siapan tersebut akan menimbulkan effek seperti banyaknya UMKM yang bakal gulung tikar, seperti yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia pasca ACFTA diberlakukan 01 Januari 2010. Seperti apa yang disampaikan oleh Ernovian G Ismy, Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia menyatakan kekhawatirannya atas pemberlakukan perdagangan bebas ASEAN-Cina, di antaranya terjadinya perubahan pola usaha yang ada dari pengusaha menjadi pedagang. Intinya, jika berdagang lebih menguntungkan karena faktor harga barang-barang impor yang lebih murah, akan banyak industri nasional dan lokal yang gulung tikar hingga akhirnya berpindah menjadi pedagang saja (Republika, 4/1/2010).
Kita ketahui, jumlah industri tekstil dari kelas industri kecil menengah bisa mencapai lebih dari 1.500. Jika setiap industri tekstil mampu menyerap 12-50 orang tenaga kerja, maka bisa dibayangkan kehancuran industri karena akan banyak pengusaha yang beralih dari produsen tekstil menjadi pedagang. Hal ini sekaligus berdampak pada berkurangnya penyerapan tenaga kerja, yang artinya akan memperburuk kondisi pengangguran di Indonesia.
Pada saat ini ditengah kondisi belum tersedianya infrastruktur penunjang yang baik, kondisi kelistrikan yang masih memburuk dengan tarif dasar listrik yang sangat mahal, serta mahalnya harga buruh perjamnya masih menjadi momok bagi dunia usaha mikro kecil dan menengah.
Dampak negative yang lain akibat pemberlakuan pasar bebas ASEAN-Cina. Pertama: serbuan produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi yang diserbu. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan 5 tahun ke depan penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM (industri kecil menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk dari Cina (Bisnis Indonesia, 9/1/2010).
Kedua: pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. Sebagai contoh, harga tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15% hingga 25%. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat Usman, selisih 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan, apalagi perbedaannya besar (Bisnis Indonesia, 9/1/2010). Hal yang sangat memungkinkan bagi pengusaha lokal untuk bertahan hidup adalah bersikap pragmatis, yakni dengan banting setir dari produsen tekstil menjadi importir tekstil Cina atau setidaknya pedagang tekstil. Sederhananya, "Buat apa memproduksi tekstil bila kalah bersaing? Lebih baik impor saja, murah dan tidak perlu repot-repot jika diproduksi sendiri."
Gejala inilah yang mulai tampak sejak awal tahun 2010. Misal, para pedagang jamu sangat senang dengan membanjirnya produk jamu Cina secara legal yang harganya murah dan dianggap lebih manjur dibandingkan dengan jamu lokal. Akibatnya, produsen jamu lokal terancam gulung tikar.
Ketiga: karakter perekomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah. Segalanya bergantung pada asing. Bahkan produk "tetek bengek" seperti jarum saja harus diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sektor-sektor vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing, maka apalagi yang bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi Indonesia?
Keempat: jika di dalam negeri saja kalah bersaing, bagaimana mungkin produk-produk Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan Cina? Data menunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke Cina sejak 2004 hingga 2008 hanya 24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor Cina ke Indonesia mencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat mungkin berkembang adalah ekspor bahan mentah, bukannya hasil olahan yang memiliki nilai tambah seperti ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat digemari oleh Cina yang memang sedang "haus" bahan mentah dan sumber energi untuk menggerakkan ekonominya.
Kelima: peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional akan terpangkas dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan lapangan kerja semakin menurun. Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari 2 juta orang, sementara pada periode Agustus 2009 saja jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,96 juta orang.

Bagaimana Mengurangi Dampak Negatif dari ACFTA terhadap UMKM
Untuk mengurangi dampak dari ACFTA tersebut maka kelemahan-kelemahan tersebut diatas semestinya harus diatasi dengan cepat dan dengan tindakan yang tepat.
2.10. Peran Pemerintah Mengatasi Epek Negatif ACFTA
Peran yang dapat diambil pemerintah yaitu menegosiasikan kembali kesepakatan tersebut yaitu menunda sampai industri-industri kecil dan menengah ini siap untuk bersaing dengan produk luar neri.
Pemberian subsidi semestinya bisa dilakukan untuk usaha mikro, kecil dan menengah yang belum siap bersaing dengan alasan penyelamatan kepentingan ekonomi dalam negeri.

III. PENUTUP
Kesimpulan
Masalah dasar yang dihadapi pengusaha kecil adalah:
  1. Kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan memperbesar pangsa pasar.
  2. Kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh jalur terhadap sumber-sumber permodalan.
  3. Kelemahan di bidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia.
  4. Keterbatasan jaringan usaha kerjasama antar pengusaha kecil (sistem informasi pemasaran).
  5. Iklim usaha yang kurang kondusif, karena persaingan yang saling mematikan. Pembinaan yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil.
Kelemahan-kelemahan tersebut akan menimbulkan inefisiensi yang pada akhirnya kemampuan bersaing produk yang dihasilkan pun lemah. Apalagi kalau dikaitkan dengan kondisi infrastruktur yang belum sepenuhnya mendukung, harga tariff dasar listrik yang mahal dan biaya tenaga kerja yang mahal akan menambah beban bagi usaha mikro kecil menengah.
Oleh karena itu perjanjian ACFTA perlu dinegosiasikan ulang untuk memberikan proteksi kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sampai kendala-kendala diatas dapat diatasi sehingga produk yang dihasilkan UMKM dapat bersaing di pasar dalam negeri maupun luar negeri.

Saran
Untuk pemerintah
  1. Pemerintah seharusnya melakukan negosiasi ulang terhadap isi perjanjian CAFTA tersebut sampai industri dalam negeri siap untuk bersaing.
  2. Pemerintah harus membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh UMKM seperti yang telah disebutkan di atas.
  3. Mempercepat pembangunan infrastruktur, menghilangkan hambatan-hambatan yang mendorong terjadinya ekonomi biaya tinggi, memberikan insentif fiskal dan non fiskal serta membantu promosi.
  4. Regulasi yang masih memberatkan/menghambat perkembangan UMKM harus segera diganti.

Untuk Pelaku Usaha
  1. Pelaku usaha harus segera melakukan upaya-upaya yang dapat meningkatkan efisiensi biaya produk.
  2. Pelaku usaha harus terus melakukan inovasi-inovasi sehingga produk yang dihasilkan semakin berkualitas sehingga mampu mempertahankan pasar.
  3. Manajemen moderen haruslah dikembangkan.
  4. Melakukan pemupukan modal secara terus-menerus.
  5. Penggunaan teknologi modern harus segera diupayakan.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Nopirin, 1997, Ekonomi Internasional, Edisi 3, BPFE, Yogyakarta
Amalia, Lia 2007, Ekonomi Internasional, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Internet:
Bunuh diri ekonomi indonesia,(dalam http://jurnal-ekonomi.org/2010/01/10)
Polemik perdagangan bebas antara Asean-China, (dalam www.suaramedia.com)
Mudrajad Kuncoro, Pemberdayaan Ukm: Antara Mitos Dan Realitas (dalam http://jurnal-ekonomi.org)