Jumat, 19 November 2010

ANGGARAN SEBAGAI ALAT KEBIJAKAN FISKAL




PENDAHULUAN
Berbagai kajian dan studi empiris yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga termasuk dari lembaga-lembaga seperti IMF, Bank Dunia dan ADB, tidak satupun yang menyimpulkan bahwa krisis yang dialami oleh negara-negara di Asia Tenggara yang dimulai pertengahan 1997 di Thailand kemudian merebak ke negara-negara lain, termasuk Indonesia bersumber dari kebijakan fiskal yang salah.
Kebijakan Fiskal pada dasarnya merupakan kebijakan yang mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran negara. Penerimaan negara bersumber dari pajak, penerimaan bukan pajak dan bahkan penerimaan yang berasal dari pinjaman/bantuan dari luar negeri sebelum masa reformasi dikategorikan sebagai penerimaan negara. Pinjaman luar negeri dimasukkan dalam APBN sifatnya hanya in and out, artinya penerimaan dari sumber ini akan tercantum sebagai penerimaan negara dalam tahun anggaran yang sama, merupakan sumber pengeluaran pembangunan untuk membiayai berbagai proyek pembangunan dalam jumlah yang sama. Dengan demikian, kebijakan fiskal sebenarnya merupakan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan terbatas pada sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran negara yang tercantum dalam APBN. Kebijakan ini mencakup besarnya target penerimaan pajak langsung dan tidak langsung, target penerimaan bukan pajak termasuk dividen yang berasal dari BUMN serta besarnya rencana penerimaan dari luar negeri, baik dari pinjaman maupun dari hibah. Pada sisi pengeluaran pada dasarnya dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu untuk pengeluaran yang bersifat rutin, misalnya untuk pembayaran gaji dan belanja barang, serta pengeluaran yang bersifat pembangunan yang bersumber dari pinjaman dan hibah luar negeri serta tabungan pemerintah (public saving). Tabungan pemerintah berasal dari penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin sebagaimana tercantum dalam APBN setiap tahun yang menggunakan prinsip anggaran berimbang atau balanced budget yang diterapkan sebelum masa reformasi. Pada dasarnya kebijakan fiskal yang diterapkan selama tahun fiskal 1993-1998 tetap melanjutkan kebijakan fiskal yang ijalankan sebelumnya, yaitu suatu kebijakan fiskal yang hati-hati (prudent). Implikasinya adalah pada setiap tahun anggaran harus diupayakan adanya surplus anggaran. Selain itu, kebijakan fiskal tidak boleh menjadi alat pemicu terjadinya inflasi yang tidak terkendali. Demikian pula, kebijakan fiskal yang diterapkan harus dapat berfungsi sebagai instrumen untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang berkesinambungan (sustainable). Jadi sampai batas-batas tertentu kebijakan fiskal juga berfungsi sebagai alat stimulus ekonomi, meskipun perkembangan sektor riil dan pertumbuhan PDB yang rata-rata mencapai 7% setiap tahun, terutama diandalkan dari pertumbuhan investasi baik domestik maupun dari luar negeri.
PEMBAHASAN
Pengertian Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal (fiscal policy) adalah kebijakan yang dilakukan pemerintah melalui manipulasi instrument fiskal seperti pengeluran pemerintah dan atau pajak yang dutunjukkan untuk mempengaruhi tingkat permintaan agregat didalam perekonomian (Nanga; 2005)
Kebijakan fiskal adalah penyesuaian dalam pendaptan dan pengeluaran-pengeluaran Pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara yang disingkat APBN untuk mencapai kestabilan ekonomi yang lebih baik dan laju pembangunan ekonomi yang dikehendaki yang umumnya ditetapkan dalam rencana pembangunan (Sudirman; 2010)
Kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengendalikan penerimaan dan pengeluaran pemerintah.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
Kebijakan yang mengubah penetapan pajak adalah karena ada keinginan Pemerintah yang besumber dari wajib pajak yang nantinya digunakan untuk mengubah kemampuan Pemeritah dalam mendanai programnya dalam meningkatkan petumbuhan ekonomi atau kesejahteraan masyarakat.
Kebijkan Anggaran/Politik Anggaran:
1. Anggaran defisit (defisit budget) / kebijakan fiskal ekspansif adalah suatu kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Pada umumnya sangat baik digunakan jika keadaan ekonomi sedang resesif.
2. Anggaran surplus (surplus budget) / kebijakan fiskal kontraktif adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Sebaiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.
3. Anggaran berimbang (balanced budget) anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan dari politik anggaran berimbang yaitu terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.
Anggaran belanja negara terdiri dari:
a. Penerimaan atas pajak
b. Pengeluaran pemerintah (government expenditure)
c. Transfer pemerintah (government transfer), merupakan pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang tidak menghasilkan balas jasa secara langsung. Contoh: pemberian beasiswa kepada mahasiswa, bantuan bencana alam dan lain sebagainya.
Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal memberikan implikasi penting terhadap kinerja perekonomian daerah. Kinerja perekonomian daerah dipengaruhi oleh arah dan kebijakan fiskal dan moneter. Oleh karena itu, perlu dilakukan harmonisasi kebijkan fiskal dan moneter antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Kebijakan fiskal dapat dilakukan pemerintah melalui penetapan kebijakan perpajakan, kebijakan pinjaman luar negeri, dan pengaturan surplus dan defisit anggaran dengan memperhatikan kondisi perekonomian daerah. Kinerja perekonomian daerah merupakan salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan arah kebijakan moneter. Sektor perbankan sebagai otoritas moneter, dalam hal ini adalah Bank Indonesia memegang kendali atas arah kebijakan moneter. Salah satu peran perbankan daerah adalah untuk mendorong ekonomi daerah (kebijakan fiskal) dengan perbankan daerah (kebijakan moneter) dalam memajukan perekonomian daerah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai alat kebijakan fiskal pemerintah digunakan untuk menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. APBD merupakan rencana kerja pemerintah daerah dinyatakan dalam satuan moneter (rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun). Melalui APBD dapat diketahui arah kebijakan fiskal pemerintah, sehingga dapat dilakukan prediksi-prediksi dan estimasi ekonomi. Selain itu, APBD digunakan sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan (Mardiasmo, 2002: 9).
Manajemen keuangan daerah, khususnya manjemen anggaran daerah (APBD) dalam konteks otonomi dan desentralisasi menduduki posisi yang sangat penting. Karena adanya tuntutan pertanggungjawaban kepada publik, pemerntah daerah harus melakukan optimalisasi anggaran secara secara efisien dan efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meningkatnya transaksi keuangan daerah merupakan indikasi adanya arus kas masuk (pendapatan/penerimaan) dan arus kas keluar (pengeluaran/belanja). Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah (APBD) pemerintah daerah memerlukan dukungan manajeme kas yang tepat, meliputi pengelolaan semua pendapatan/penerimaan dan pengeluaran kas daerah sehingga dapat meminimalkan jumlah kas yang menganggur (idle cashs) serta dapat mencegah terjadinya kekurangan kas (illikuid).
Dengan dilaksanakannya otonomi daerah, maka transaksi keuangan di daerah akan meningkat. Dan keadaan tersebut harus didukung oleh institusi keuangan di daerah yang semakin baik. Keberhasilan perekonomian daerah akan tercapai apabila terdapat harmonisasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal daerah harus didukung oleh kebijakan moneter yang termanifestasikan melalui neraca pembayaran daerah dan perbankan daerah yang sehat. Efektivitas kebijakan moneter berupa pengendalian jumlah uang beredar berkaitan erat dengan manajemen kas Bank Indonesia, yaitu pengelolaan jumlah aliran uang masuk (Cash inflow) dan aliran kas keluar (cash outflow) sebagai instrumen dalam sistem moneter untuk menentukan jumlah uang beredar dalam jangka waktu tertentu.
Kebijakan Fiskal Tahun 1997
Pengaruh Globalisasi Terhadap Perekonomian Indonesia Sistem perekonomian terbuka yang dianut oleh Indonesia, menyebabkan prekonomian Indonesia tidak dapat menghindar dari setiap perkembangan perekonomian dunia, dan membawa konsekuensi adanya keterkaitan yang erat, baik melalui arus barang, jasa maupun arus modal. Krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia, juga sangat berpengaruh pada kondisi perekonomian Indonesia. Berbagai kajian dan studi empiris yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga termasuk dari lembaga-lembaga seperti IMF, Bank Dunia dan ADB, tidak satupun yang menyimpulkan bahwa krisis yang dialami oleh negara-negara di Asia Tenggara yang dimulai pertengahan 1997 di Thailand kemudian merebak ke negara-negara lain, termasuk Indonesia bersumber dari kebijakan fiskal yang salah. Berbagai indikator fundamental ekonomi pada masa itu, yang merata di negara-negara Asia Tenggara menunjukkan bahwa keadaan fundamental ekonomi, pada dasarnya masih dapat dikategorikan dalam keadaan sehat atau terkendali (manageable), meskipun terdapat indikator yang agak merisaukan yaitu membesarnya defisit transaksi berjalan pada neraca pembayaran. Gejala meningkatnya defisit transaksi berjalan secara nyata dan relatif tingginya inflasi yang dialami perekonomian Indonesia menunjukan perekonomian Indonesia masih mengalami pemanasan atau overheating. Pemanasan ekonomi bersumber dari naiknya permintaan agregat secara kurang proposional dengan penawaran agregat, oleh karena itu pengendalian pemanasan ekonomi dilakukan dengan pengendalian permintaan agregat. Dalam jangka pendek permintaan agregat dapat naik dengan cepat sedangkan penawaran agregat relatif tetap karena menyangkut kapasitas produksi. Permintaan agregat yang naik sebagian dipenuhi dengan barang domestik dan sebagian lagi dengan barang impor, yang dapat memperburuk defisit transaksi berjalan. Unsur permintaan agregat bersumber dari permintaan masyarakat dan pemerintah. Secara garis besar konsumsi masyarakat dapat dikendalikan dengan kebijakan moneter sedangkan belanja pemerintah dapat dikendalikan dengan kebijakan fiskal terutama yang menyangkut pengeluaran negara.
Kebijakan belanja rutin didasarkan atas prinsip efesiensi tanpa mengurangi kualitas pelayanan kepada masyarakat, sedangkan kebijakan belanja pembangunan didasarkan atas prinsip lebih mengutamakan belanja pembangunan didasarkan atas prinsip lebih mengutamakan belanja pembangunan untuk sektor-setor strategis dan mempunyai dampak pengganda yang besar bagi perekonomian nasional. Dalam kaitan ini dalam tahun anggaran 1996/1997, pertumbuhan belanja rutin telah diupayakan menurun dari 19,2 persen dalam tahun anggaran sebelumnya menjadi 17,2 persen atau dari Rp16.568,00 miliar, sedangkan pertumbuhan belanja pembangunan naik dari 6,2 persen dalam tahun anggaran sebelumnya menjadi 16,2 persen atau menjadi Rp 33.454,35 miliar.
Kombinasi kebijakan moneter dan fiskal, serta kebijakan di sektor riil yang dilaksanakan telah berhasil mengendalikan inflasi dan defisit transaksi berjalan secara berarti. Pada tahun anggaran 1996/1997 menjadi 5,17 persen. Demikian juga, defisit transaksi berjalan dapat dikendalikan sehinga menjadi US$ 8.069,00 juta dalam tahun anggaran 1996/1997 atau 3,5% dari PDB.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Sudirman, 2010, Kebijakan Fiskal dan Moneter, Diktat
Muana Nanga, 2005, Makro Ekonomi: Teori, Masalah dan Kebijakan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Internet